Meski Undang-Undang Nomor Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers sudah berusia 11 tahun, tapi masih banyak warga belum paham kerja dunia jurnalis.
JUBI --- Sebelas tahun sudah Pers Indonesia bebas dari rezim perijinan, sensor, dan bredel. Kemerdekaan Pers mengalami kemajuan beberapa langkah. Tapi, Pers Indonesia belum benar-benar merdeka. Ketakutan masih membayangi jurnalis. Menurut Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam kurun Agustus 2008 hingga 2009, terjadi sembilan jeratan hukum bagi jurnalis, baik secara perdata mau pun secara pidana. Secara total saat ini ada 14 kasus peradilan terhadap pers di berbagai tingkat pengadilan. Jeratan hukum yang umumnya dipakai adalah pasal-pasal pencemaran nama, baik perdata maupun pidana.Penghakiman terhadap jurnalis umumnya merupakan buntut pemberitaan. Orang yang merasa dicemarkan namanya mudah main hakim sendiri hingga menyeret pekerja media ke meja hijau. Padahal, jika mengacu pada instrumen Undang-Undang Nomor 40 Tentang Pers, diatur secara tegas mekanisme penyelesaian masalah karya jurnalistik. Dalam ranah ini, para pihak yang merasa dicemarkan namanya akibat pelanggaran produk jurnalistik dan kode etik jurnalistik, diberi ruang untuk menggunakan hak jawab dan hak koreksi.
Hak jawab yang dimaksud adalah hak seseorang yang menjadi sumber berita untuk memberitakan tanggapan atau sanggahan terhadap produk jurnalistik yang tidak sesuai fakta. Hak jawab yang dimaksud bisa berupa wawancara ulang, menulis/menayangkan/perbaikan ulang oleh jurnalis dan atau koorporasi pers yang bersangkutan. Sedangkan penggunaan hak koreksi adalah untuk mengoreksi atau memperbaiki kekeliruan produk jurnalistik. Pada level ini, koorporasi pers berkewajiban melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu produk jurnalistik. “Nah, Hak jawab dan hak koreksi merupakan mekanisme yang harus digunakan oleh pihak yang merasa diri dirugikan akibat pemberitaan. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Pers,” kata Cunding Levi, Sekretaris AJI Biro Kota Jayapura.
Walau demikian, kata Cunding, penting bagi wartawan dalam menurunkan berita kontrovesial yang melibatkan lebih satu orang, harus mengedepankan prinsip keberimbangan (cover both side). Prinsip keberimbangan ini merupakan salah satu elemen yang dapat dipakai sebagai kaidah jurnalistik. Cover both side atau mencakup kedua sisi sangat jelas mengkonstrain dan bahkan mewajibkan bagi pekerja media untuk selalu proposional.
Soal keberimbangan berita juga diakui oleh beberapa jurnalis di Jayapura. Diakui pula, munculnya kekerasan terhadap wartawan dominan akibat sebuah pemberitaan yang tak berimbangan. Achmad Jaenuri, Wartawan Bintang Papua, mengaku, keberimbangan berita sebenarnya ditaati oleh wartawan, tetapi wartawan didesak deadline mamasukan berita ke meja redaksi. “Sebenarnya kita mau jaga keberimbangan berita tapi karena dikejar deadline sehingga tidak bisa kita wawancara lagi ke narasumber yang terlibat di dalam berita yang kita tulis,” katanya.
Menurutnya, hak jawab sebenarnya akan digunakan oleh yang diberitakan, namun karena dihasut orang tertentu, sehingga pihak yang merasa dirugikan itu lebih mengedepankan cara-cara premanisme.
Senada dengan Jaenuri, Pimpinan Redaksi Cendrawasih Pos, Lucky Ireuw mengatakan, keberimbangan berita perlu dilakukan oleh pekerja Pers. Caranya melakukan chek and recheck sebelum masuk berita ke meja redaksi. Namun, kesimbangan ini sering diabaikan wartawan. “Kecepatan waktu sepenuhnya membuat keberimbangan berita tidak dilaksanakan. Itu yang sering terjadi di lapangan,” katanya. “Hal ini yang selalu dialami oleh wartawan, khususnya wartawan yang bekerja di surat kabar harian mau pun media online.” Namun bagi Lucky, alasan tidak keberimbangan bukanlah sebuah alasan untuk mengkriminalisasikan wartawan. Karena menurut dia, masih ada mekanisme untuk membetulkan sebuah berita yang dianggap salah oleh narasumber. “Kendala lainnya adalah nara sumber sulit ditemui. Kalau dikonfirmasi via telepon juga tidak diangkat. Namun, begitu berita sudah dinaikkan di media, baru ada komplain. Pada hal wartawan sudah berusaha konfirmasi, tapi wartawan dan perusahaan media bersangkutan tetap disalahkan. Dari situ wartawan mulai diintimidasi dan diteror,” ujar Lucky.
Karena itu Lucky berharap, agar aparat penegak hukum harus menberikan perlindungan hukum jika terjadi kekerasan fisik dan psikis terhadap wartawan. “Saya amati selama ini terkesan Pers jarang mendapat perlindungan hukum. Buktinya kekerasan selalu terjadi dimana-mana. Baik teror maupun pemukulan terhadap wartawan saat menjalankan tugas jurnalistik,” katanya.
Menurut Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Perempuan Papua (SPP), Angela Flassy, kekerasan terhadap jurnalis yang marak terjadi di Papua akhir-akhir ini merupakan sesuatu yang harus menjadi keprihatinan bersama. Wartawan, kata Angela, merupakan unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Wartawan telah memberikan peran sangat berarti dalam membangun bangsa. Wartawan sudah menjalankan fungsinya sebagai pengontrol sosial dalam masyarakat. Wartawan telah bekerja memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Saya sedih saat mendengar wartawan di Merauke diteror,” katanya.
Diakuinya, peristiwa teror dan kematian salah satu jurnalis di Merauke merupakan menjadi pertanyaan dunia internasional tentang Kebebasan Pers di Indonesia, khsusnya di Papua. “Jangan melihat persoalan jurnalis dalam konteks lokal. Walau kasus teror terjadi di kota kecil Merauke, tetapi gaungnya mendunia. Tentu saja melalui kasus tersebut, dunia bisa mengukur demokrasi di Negara kita, karena banyak di dunia mengakui bahwa Pers merupakan pilar keempat demokrasi,” katanya.
Karena itu, Angela berharap, untuk mendorong kebebasan Pers dan mengerti tentang pekerjaan jurnalis, AJI maupun PWI Papua harus melakukan sosialisasi UU Pers kepada masyarakat. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir tindak kriminal terhadap wartawan.
Belum Paham UU Pers
Tidak banyak warga di Jayapura paham tentang Undang-Undang Pers. Akibatnya sering terjadi salah paham antara warga dan pekerja pers. Nehemia Yerinap, warga Organda mengaku sampai saat ini ia belum paham UU Pers. “Sampai sekarang saya sendiri belum tahu isi dari Undang-Undang tentang Pers,” kata Yarinap.
Meskipun tak tahu isi undang-undang tersebut, Nehemina menyarankan agar masyarakat membuka diri dan menerima wartawan dalam menjalankan jurnalistik. Dia mengaku, banyak karya jurnalistik wartawan yang membantu masyarakat, khususnya dalam berbagai pristiwa terkini, baik skala, lokal, nasional maupun internasional.
“Wartawan adalah ujung tombak dari suatu perubahan. Jika tidak ada jurnalis maka tidak mungkin warga mendapat informasi baru setiap saat. Karena itu saya benci jika ada yang memusuhi wartawan,” katanya.
Selain itu, Roberth Charles Tawaru, warga Abepura, mengatakan secara pribadi dirinya belum mengetahui dan membaca undang-udang tentang pers. “Saya sendiri sampai sekarang sekarang belum baca UU Pers,” katanya. Namun, kata dia, Pers pasti dilindungi oleh Negara karena pekerjaannya diatur oleh UU. Dengan demikian, Pers harus diterima dan diakui oleh masyarakat. “Jangan menolak wartawan, karena mereka adalah penyambung lidah masyarakat ke pemerintah. Jika masyarakat memusuhi wartawan mereka tidak bisa maksimal dalam bekerja. Kami berharap wartawan di Papua agar terus menyuarakan demokrasi dan prilaku korup di birokrasi,” katanya.
Sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, Pers didefinisikan sebagi lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. (JUBI/Musa Abubar)
http://www.tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/jubi-utama/8897-plus-minus-keberimbangan-berita
0 komentar to "Plus Minus Keberimbangan Berita"