Segalanya Akan Dikenang

Apa saja yang kita lakukan. Akan Dikenang dalam Sejarah.

Salam Papua

"wa wa wa wa wa"Welcome Yandu Daily News"

BARNABAS SUEBU

“saya sangat heran karena kabupaten ini sangat maju dari kabupaten-kabupaten pegunungan lainnya saya sangat senang melihatnya, dan mungkin tahun-tahun kedepan kabupaten pegunungan Bintang ini akan menjadi kota terindah dan aman dipapua” Oksibil,22 Juni 2010.lihat: http://komapo.org

DAVID COVEY

“We can be a purpose-driven church. We can be a seeker-sensitive church. We can be an emergent and creative church. We can be a justice-and-peace church. We can be a conservative Calvinist church. But if we fail to hear the Holy Spirit of the living God, then all our serving will be futile and fruitless,”

PARES L.WENDA

Kesatuan mempunyai kekuatan, melebihi kekuatan senjata nuklir.Perlawanan apapun dalam perjuangan kebenaran, keadilan, persamaan derajat, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, mutlak harus bersatu. Ketika bersatu dan melawan pasti ada hasil.

PARES L.WENDA

"Hiduplah dalam alam kesadaran sejarah"
Hak Cipta SBP@2009.www.yanduwone.co.cc. Diberdayakan oleh Blogger.

KEKUATAN PERSATUAN

Dapat merunutuhkan kekuatan Firaun, Tembok Yeriko, Tembok Berlin.

Jesus

Save and bless us

Kesatuan-Melebihi Kekuatan Senjata Nuklir

Kesatuan mempunyai kekuatan, melebihi kekuatan senjata nuklir. By. Pares L.Wenda.
Perlawanan apapun dalam perjuangan kebenaran, keadilan, persamaan derajat, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, mutlak harus bersatu. Ketika bersatu dan melawan pasti ada hasil.

Powered By Blogger

Member

About Me »

yanduwone
Jayapura, Papua, Indonesia
****Hiduplah dalam alam kesadaran sejarah.Sejarah adalah identitas dan jati diri suatu bangsa.******
Lihat profil lengkapku

Link List


Demo Rakyat Papua [Jan,26-2011]

Buku Presiden Baptis Dilarang

Home � � Kalau Politik Menjadi Sakramen

Kalau Politik Menjadi Sakramen

Written by Administrator
Timbangan Buku
Kalau Politik Menjadi Sakramen
Kompas, Senin, 25 Agustus 2008

Oleh BUDI KLEDEN

Setelah Johann Baptist Metz, seorang teolog Jerman, pada tahun 1966 menggunakan kembali pengertian teologi politik untuk kerangka berpikirnya, muncul banyak suara kritis. Tidak sedikit yang menuduhnya sebagai seseorang yang hanya mencari popularitas dengan menggunakan sebuah pengertian yang kontroversial. Memang kontroversial, karena pengertian ini masih mengingatkan orang akan gagasan Carl Schmitt yang berciri integralistik.

Menghadapi sebuah buku dengan judul Sakramen Politik, dapat muncul reaksi yang sama. Apakah ini hanya untuk menimbulkan kontroversi? Seperti reaksi awal atas ungkapan Metz perlahan sirna setelah orang menyelami maksudnya, demikian pun yang terjadi dengan buku Sakramen Politik. Mempertanggungjawabkan Memoria karya Eddy Kristiyanto. Penyejajaran dengan teologi politik bukan hanya sebuah kebetulan. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa Sakramen Politik yang diperkenalkan di sini menggunakan teologi politik Metz sebagai landasan teologisnya yang dialihkan secara sangat setia.

Teologi politik bukan politisasi teologi

Di dalam pertemuan akbar para uskup Katolik sedunia dari tahun 1962 sampai 1965 (Konsili Vatikan II), Gereja Katolik menyatakan solidaritasnya dengan umat manusia yang sedang bergumul dengan berbagai persoalan dalam sejarah. Masyarakat dan sejarah menjadi bagian yang integral dari pendefinisian diri Gereja. Komunitas iman tidak lagi berdiri di samping masyarakat manusia, sejarah keselamatan bukanlah kisah yang lain dari sejarah perjuangan umat manusia. Yang utama bukan lagi Gereja, melainkan umat manusia yang serentak merupakan keluarga Allah. Gereja dibentuk karena keprihatinan universal Allah. Karena itu, Gereja memiliki legitimasi selama dan sejauh dia mengabdi umat manusia.

Sejalan dengan pikiran ini, JB Metz mengusung gagasan teologis yang disebutnya sebagai teologi politik. Teologi politik bermaksud memberikan pendasaran teologis bagi urgensi partisipasi Gereja dalam ruang publik. Kebenaran iman bukanlah sebuah persoalan doktrinal atau syahadat, melainkan kesanggupannya untuk mendorong inisiatif-inisiatif perubahan dalam masyarakat.

Metz menyebut dua peran teologi politik. Pertama adalah sebagai koreksi kritis terhadap tendensi privatisasi di dalam teologi sendiri. Koreksi ini didasarkan pada keyakinan bahwa pesan-pesan utama kekristenan seperti kebebasan, perdamaian, keadilan, dan rekonsiliasi tidak dapat dispiritualisasi dan direduksi ke dalam rasa aman yang dialami seseorang secara pribadi. Sebaliknya, pesan-pesan ini memiliki muatan politis yang mesti mendorong perubahan kondisi sosial.

Walaupun demikian, teologi politik tidak bermaksud menunjukkan satu identifikasi yang sempurna antara politik dan iman, antara Gereja dan Negara (hal 39). Identifikasi seperti itu disebut sebagai politisasi teologi, dengan teologi dimanfaatkan untuk melegitimasi segala pertimbangan dan keputusan politik. Akibatnya, politik menjadi sesuatu yang tak tersentuh. Aura kesakralan dipakai untuk menaungi program politik tertentu. Karena itu, peran kedua teologi politik mesti segera ditambahkan, yakni untuk menyingkapkan pesan eskatologis dari iman. Yang dimaksudkan dengan pesan eskatologis bukan terutama warta tentang surga, melainkan kemungkinan yang terbuka bagi dunia dan sejarah. Iman adalah intervensi ke dalam pengerasan ideologis yang memenjarakan manusia dalam berbagai kemiskinan, termasuk kemiskinan fantasi dan aksi politik. Dalam arti ini, iman memiliki daya subversif di tengah kemapanan yang mengerdilkan massa dan mengabsolutkan para penguasa.

Sakramen politik, sebuah fantasi teologis

Sejarah pemikiran teologis Kristen di Indonesia belum banyak menunjukkan orisinalitas permenungan sebagai ungkapan kreativitas dan fantasi teologis. Kiblat umum kekristenan ke dunia Barat dan kompleks minoritas yang menghantui tampaknya telah turut menciptakan kondisi ini. Syukur, di tengah kegersangan itu masih muncul sejumlah tokoh dengan gagasan yang kreatif dan relevan, antara lain, seperti yang diperkenalkan di dalam buku ini, JB Banawiratma, GP Sindhunata, St Darmawijaya, dan Frans Magnis-Suseno (hal 152-166).

Tanpa mengurangi nilai penting dari usaha untuk memperkenalkan teologi politik di Indonesia, hemat saya, kreativitas dan orisinalitas buku ini bukan terutama terletak pada gagasan sakramen politik. Gagasan itu sudah terungkap secara implisit dalam diskursus seputar teologi politik. Dalam uraiannya tentang teologi politik, Eddy Kristiyanto menyadur secara setia gagasan-gagasan Metz. Kedua peran teologi politik pada dasarnya menentukan ciri sakramental dari politik. Di satu pihak, politik adalah tanda dan sarana yang mengantar manusia kepada pembebasan dan penyelamatan. Tuhan dialami dan dapat dipercayai di dalam pemahaman dan pengamalan politik yang bertanggung jawab. Namun, pada pihak lain politik sebagai sakramen tidak pernah dapat diidentikkan secara penuh dan menyeluruh dengan Tuhan. Tuhan hadir di dalam politik sebagai sakramen, tetapi Dia tidak dikurung di dalam politik. Pesan eskatologis mengingatkan distansi dan distingsi yang penting ini.

Bobot khusus ini terletak terutama pada kesanggupannya menempatkan tema ini dalam konteks sejarah Gereja universal dan kiprah Gereja Indonesia. Sebagai sebuah kumpulan sejumlah tulisan, buku ini memang tidak berhasil menampilkan satu pembagian tema yang ketat. Sejumlah pengulangan tidak bisa dihindari. Kendati demikian, dalam garis besarnya alur argumentasi keseluruhan buku ini berhasil menunjukkan intensi dasarnya serentak memprofilasi bobot istimewanya.

Memoria dan kejelasan bahasa

Sebagai sebuah refleksi teologi politik, buku ini tidak dimulai dengan kebenaran dogmatis dan wahyu. Eddy Kristiyanto membuka refleksinya dengan memaparkan sejumlah landasan ideologis dan teoretis. Di sini diperkenalkan konsep Walter Benjamin tentang waktu sebagai basis untuk memoria. Uraian ini kemudian dilengkapi dengan perkenalan umum atas teologi politik dan model kepedulian Gereja terhadap situasi sosial di Eropa pada abad ke-19, yang harus mulai menghadapi akibat dari kapitalisme.

Pada bagian kedua yang diberi judul ”Landasan Historis dan Teologis” dibicarakan secara berturut-turut ’Sakramen Politik’, ’Teologi yang Melibat’, ’Perempuan dalam Diskursus Sosial’, ’Reposisi Hubungan Agama dan Negara’. Bagian ini diakhiri dengan sebuah pemaparan menarik mengenai biografi teologis empat pemikir Katolik di Indonesia. Memerhatikan judul buku ini, maka perhatian pembaca pasti terpaut pada tulisan pertama dalam bagian ini. Yang diharapkan adalah sebuah pemaparan yang mendalam mengenai teologi sakramen sebagai basis untuk berbicara mengenai politik sebagai sakramen. Penajaman pemahaman mengenai sakramen yang sanggup menjernihkan konsep ini dari berbagai pengertian dan penghayatan yang melenceng diperlukan agar orang memiliki konsep yang lebih pasti mengenai sakramen politik. Kebutuhan ini ternyata kurang dipenuhi karena yang dibaca pada bagian ini adalah sebuah ulangan umum mengenai teologi politik.

Mengakhiri refleksinya, ahli sejarah Gereja ini berusaha masuk ke dalam sejarah kiprah Gereja di medan politik, dari khazanah sejarah Gereja universal dan dari perjuangan Gereja di Indonesia. Bagi saya, yang paling menarik dari bagian ini adalah tulisan keempat yang diberi judul ”Kebebasan dan Keindonesiaan”. Dengan bahasa yang lugas, penulis menguraikan sejumlah permasalahan yang dialami dalam kehidupan beragama di Indonesia. Kebebasan yang sesungguhnya dikerangkeng, baik oleh kekurangpekaan mayoritas maupun oleh hantu ketakutan kaum minoritas. Dengan kesadaran diri sebagai seorang intelektual dan dalam tanggung jawab penuh sebagai warga negara, penulis membongkar kompleksitas minoritas yang sering menjadi sebab pembahasaan yang kurang jelas. Bahasa yang kurang jelas sering mengaburkan ingatan. Karena itu, mempertanggungjawabkan memoria haruslah dilakukan dengan bahasa yang terang untuk menunjukkan borok yang telah mewarnai sejarah kebebasan manusia beragama di Indonesia.

Pemberhalaan politik dan kekuasaan

Mengakhiri kata pengantarnya yang memberi bobot khusus pada buku ini, Ignas Kleden berbicara tentang ciri sakramental Gereja. Ini sebuah ajaran resmi yang dirumuskan dalam Konsili Vatikan II. Jika kita mengenakan ciri sakramental ini pada semua agama, konsekuensinya jelas, sebagaimana ditulis Ignas Kleden, ”Kalau yang menjadi urusan utama dalam agama adalah hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan apa yang diyakininya sebagai Tuhan, maka tujuan akhir setiap agama adalah membawa kemuliaan Tuhan dan keselamatan bagi manusia” (hal vliii).

Hal yang sama mesti dikatakan ketika kita berbicara mengenai politik sebagai sakramen. Politik, dalam arti luas sebagai komitmen terhadap penyelenggaraan kehidupan bersama, adalah jalan dan sarana untuk menghadirkan keselamatan yang diwartakan dan dirayakan dalam agama-agama. Karena itu, politik bukanlah sesuatu yang kotor dan harus dielakkan, sebagaimana diingatkan J Kristiadi dalam postkripnya. Sebaliknya, politik mesti dipahami dan dihayati sebagai medan, dalamnya orang menunjukkan dirinya sebagai orang beriman. Namun, politik justru akan dikotorkan dan menjadi momok kalau politik hanya dilihat sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Ketika politik diidentifikasi dengan Tuhan, maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan yang menyengsarakan masyarakat dan menghancurkan citra politik. Pemberhalaan politik, apalagi pemberhalaan kekuasaan, adalah awal segala kecurangan!

Budi Kleden Dosen Teologi di STFK Ledalero, Flores

Tags:

0 komentar to "Kalau Politik Menjadi Sakramen"

Posting Komentar