Segalanya Akan Dikenang

Apa saja yang kita lakukan. Akan Dikenang dalam Sejarah.

Salam Papua

"wa wa wa wa wa"Welcome Yandu Daily News"

BARNABAS SUEBU

“saya sangat heran karena kabupaten ini sangat maju dari kabupaten-kabupaten pegunungan lainnya saya sangat senang melihatnya, dan mungkin tahun-tahun kedepan kabupaten pegunungan Bintang ini akan menjadi kota terindah dan aman dipapua” Oksibil,22 Juni 2010.lihat: http://komapo.org

DAVID COVEY

“We can be a purpose-driven church. We can be a seeker-sensitive church. We can be an emergent and creative church. We can be a justice-and-peace church. We can be a conservative Calvinist church. But if we fail to hear the Holy Spirit of the living God, then all our serving will be futile and fruitless,”

PARES L.WENDA

Kesatuan mempunyai kekuatan, melebihi kekuatan senjata nuklir.Perlawanan apapun dalam perjuangan kebenaran, keadilan, persamaan derajat, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, mutlak harus bersatu. Ketika bersatu dan melawan pasti ada hasil.

PARES L.WENDA

"Hiduplah dalam alam kesadaran sejarah"
Hak Cipta SBP@2009.www.yanduwone.co.cc. Diberdayakan oleh Blogger.

KEKUATAN PERSATUAN

Dapat merunutuhkan kekuatan Firaun, Tembok Yeriko, Tembok Berlin.

Jesus

Save and bless us

Kesatuan-Melebihi Kekuatan Senjata Nuklir

Kesatuan mempunyai kekuatan, melebihi kekuatan senjata nuklir. By. Pares L.Wenda.
Perlawanan apapun dalam perjuangan kebenaran, keadilan, persamaan derajat, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, mutlak harus bersatu. Ketika bersatu dan melawan pasti ada hasil.

Powered By Blogger

Member

About Me »

yanduwone
Jayapura, Papua, Indonesia
****Hiduplah dalam alam kesadaran sejarah.Sejarah adalah identitas dan jati diri suatu bangsa.******
Lihat profil lengkapku

Link List


Demo Rakyat Papua [Jan,26-2011]

Buku Presiden Baptis Dilarang

Home � � ‘Bom Waktu’ Referendum Papua (bagian-2)

‘Bom Waktu’ Referendum Papua (bagian-2)

Rabu, 14 Juli 2010 22:05

‘Bom Waktu’ Referendum Papua (bagian-2)

Oleh : Lamadi de Lamato *
Hemat penulis, logika bolak-balik seperti ini – cepat atau lambat - hanya akan terus memantik ketidak percayaan atau kemarahan publik yang berujung pada bom waktu. Bagaimana tidak menjadi bom waktu? Publik terus di aduk-aduk emosinya dengan berbagai prilaku politik yang manipulatif maupun intrik dari para elitnya yang sering menghiasi media melalui pernyataan maupun komentar yang tidak pro terhadap keinginan rakyat. Siapa yang tidak curiga dengan pernyataan politik bolak-balik ala koin, yang diputar bagaimanapun nilai dalam koin itu tetap sama? Maksudnya, penyelesaian tentang Papua tidak pernah akan selesai karena metodologinya tidak ada yang kreatif.

Menyelesaikan Papua secara komprehensif sangat sering dibahas dan diperdebatkan secara ilmiah dan argumentatif. Bahkan menurut data dari organisasi Forum Komunikasi (Forkom Papua) yang berbasis di Jakarta, telah dilakukan kajian tentang kegagalan Otsus selama 53 kali baik dalam ruang-ruang ilmiah maupun publish tapi jalan yang berujung pada perubahan tetap buntu. Kebuntuan itu bisa dilihat dari masih seringnya orang asli Papua bicara referendum, merdeka,  separatisme dan orang Papua masih tertinggal (bodoh, terbelakang, miskin diatas keberlimpahan dan seterusnya).
Karena itu muncul pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana meredam sekaligus menghilangkan citra yang masih melekat dengan orang asli Papua setelah Otsus tidak lagi dilihat sebagai jawaban dalam menjawab tuntutan rakyat Papua untuk keluar dari problem krusial tersebut? Referendum dan merdeka telah menjadi momok yang menakutkan yang ingin dihilangkan sebagai beban sejarah menjadi tanggung jawab sejarah. Beban sejarah itu yang di mata para aktifis Hak Azasi Manusia (HAM) dianggap krusial sebelum kita menyentuh wilayah lain dalam menyelesaikan problem Papua secara komprehensif.
Pendapat para pakar bahwa masalah kesejahteraan harus dipacu dengan baik karena inilah akar yang dapat membuat orang asli Papua tidak lagi bersuara lantang dengan isu yang menakutkan Negara (referendum dan merdeka). Alih-alih, Otsus yang dipercaya menjadi obat mujarab ternyata dalam implementasinya selama 10 tahun berjalan justru hanya melahirkan blunder-blunder baru yang tanpa kita sadari berpotensi menjadi bom waktu.
Dalam konteks politik, kita tidak boleh melupakan sejarah lepasnya Timor-Timur sebagai provinsi ke-27, yang kerap menjadi rujukan dan inspirasi perjuangan publik melawan kesewenang-wenangan praktek politik Negara. Dalam beberapa hal tampak ada kesamaan tipikal gerakan politik perlawanan rakyat antara Papua dan Timor-Leste dalam konteks kekinian.  Seingat penulis, dahulu Timor Leste telah dianggap final sebagai bagian integral dari Indonesia. Bahkan PBB sebagai lembaga otoritas Negara-negara di dunia disebut-sebut akan mengesahkan provinsi tersebut legal dan tidak boleh dipersoalkan lagi oleh para aktivis pro merdeka di luar negeri.
Namun apa dikata, kesalahan berupa tragedi tanggal 12 Juli 1992 di Santa Cruz, Dili menjadi ‘murka’ yang akhirnya menjadi pencetus lahirnya simpati dunia kepada negeri yang sejak lama dijuluki sebagai negeri ‘Duri Dalam Daging’ yang sangat mengganggu posisi Indonesia di dunia internasional.  Sekali lagi, semua itu tidak akan terjadi bila pendekatan Negara terhadap rakyatnya santun, humanis, adil dan berkeadaban.
Pendekatan Negara terhadap Papua terlampau matematis, instrumental dan rasionalis sehingga banyak yang keliru dan ahistoris. Pendekatan ini hanya cocok bagi mereka yang sudah akrab dengan dunia yang modernis dan materialistis. Tahukah kita bahwa dunia ini ternyata hanya dimiliki segelintir orang, sementara sebagian besar orang asli Papua yang hidup dalam kesederhanaan dan akrab dengan alam lebih membutuhkan sentuhan pembangunan yang memuliakan kecerdasaan perasaan (kasih, jujur dan toleran). Inilah yang kurang dimiliki para pencetus pembangunan di era Otsus membangun Papua dengan pendekatan kreatif yang dimaksud diatas.
Akibatnya, cara yang kita tempuh bukan solusi tapi justru blunder-blunder baru yang tinggal menunggu pencetusnya yang paling kita takutkan. Mengutip pikiran brilian Erbe Sentanu, yang menganjurkan pendekatan hati yang memiliki 88 kadar kecerdasan yang memecahkan masalah manusia secara komprehensif daripada pendekatan rasional yang hanya 12 persen saja. (Quantum Ikhlas, Gramedia, 2010). Inilah yang dirindukan guna memecahkan setiap masalah berat yang mengguncang tanah Papua selama ini. Kesalahan itu telah membuat kita menjadi bangsa yang sibuk memperdebatkan alasan masing-masing yang terbukti kontraproduktif.** Direktur La-Keda Institute, Papua. Konsultan Politik Isu-isu Lokal

Tags:

0 komentar to "‘Bom Waktu’ Referendum Papua (bagian-2)"

Posting Komentar